Solusi Agar Anggota Keluarga Tidak Individualis - Barangkali Anda masih ingat masa-masa kecil dulu ketika kita menunggu dengan penuh harap tibanya waktu makan di rumah. Bersama seluruh keluarga, kita duduk meriung di meja makan. Di atas meja sudah tersedia nasi dan lauk pauk sederhana hasil masakan ibu.
Tapi itu dulu, ketika hidup belum terlalu bergegas dan jalanan belum semacet sekarang. Dulu, ayah kita sudah tiba di rumah pukul 3 siang (kalau pegawai negeri), atau paling lambat pukul 5 sore (kalau pegawai swasta). Ibu kita umumnya ibu rumah tangga yang hampir sepanjang waktu ada di rumah.
Bagaimana dengan sekarang? "Jangankan makan malam dan makan siang, sarapan bersama pun kita nyaris tak sempat lagi. Karena harus masuk sekolah pukul 7 pagi, anak-anak harus bergegas ke sekolah, sehingga mereka harus sarapan lebih awal daripada ayah dan ibu yang berangkat ke kantor lebih siang," kata Ratna Djuwita, psikolog dari Universitas Indonesia.
Meski berdesain mutakhir dan harganya mencapai puluhan juta, kini meja makan juga nyaris kehilangan fungsi dasarnya, yaitu untuk kegiatan makan keluarga. Paling-paling sekadar tempat meletakkan nasi dan lauk pauk, sementara para anggota keluarga lebih suka makan di tempat lain, misalnya di depan teve, di ruang kerja, atau di kamar masing-masing. Itu pun kalau mereka sempat makan di rumah. Alhasil, meskipun semua anggota keluarga sedang berada di rumah, tetap saja mereka tidak makan di meja makan.
Bila ditinjau dari sudut psikologi lingkungan, kata Ratna, lancar-tidaknya komunikasi dalam keluarga ternyata terkait juga dengan kondisi fisik rumah yang kita tinggali. "Dulu rumah kita umumnya berukuran kecil hingga sedang, tidak bertingkat, kamar mandi bersama, sementara jumlah anak relatif banyak. Karena setiap saat saling bertemu (atau istilah populernya 'elu lagi elu lagi') dan biasanya satu kamar dihuni oleh lebih dari satu orang, maka tanpa disadari terjalin keakraban, kebersamaan, dan toleransi antar penghuni rumah -meski tentunya sesekali terjadi friksi juga."
Ratna menegaskan,"Saya bukan orang yang percaya bahwa kelancaran komunikasi dalam keluarga bisa dipelihara hanya dengan quality time plus bantuan kecanggihan teknologi informasi yang membuat kita selalu bisa terkoneksi setiap saat. Kebersamaan fisik atau quantity time juga tak kalah penting, karena secanggih apapun teknologi, kita tetaplah manusia yang membutuhkan kedekatan fisik dan batin dengan orang-orang yang kita cintai.
Di zaman sekarang ini, kebanyakan keluarga, khususnya keluarga urban, hanya memiliki satu-dua anak, sehingga sejak kecil setiap anak biasanya sudah punya kamar sendiri. Dan seiring dengan peningkatan ekonomi, tak jarang setiap kamar dilengkapi dengan televisi, komputer, bahkan kamar mandi pribadi. Rumahnya pun besar-besar atau kecil tapi bertingkat -yang menimbulkan keterpisahan antara lantai bawah dan lantai atas. Dengan kondisi rumah yang seperti itu, jangan heran bila Anda sekeluarga jadi jarang bertemu, sekalipun semua anggota keluarga sedang berada di rumah. "Dan bila kuantitas pertemuan fisik kian jarang, otomatis kedekatan batin juga makin longgar."
Karena itu, menciptakan ruang keluarga yang nyaman dan menyenangkan merupakan salah satu langkah yang bisa diambil untuk merekatkan kembali hubungan antar anggota keluarga. Kalau bisa malah dibuat jauh lebih nyaman ketimbang kamar tidur masing-masing. Tempatkan semua TV, komputer, dan telepon di ruangan itu dan wajibkan seluruh anggota keluarga -termasuk Anda sendiri- untuk belajar, menyelesaikan tugas kantor, dan nonton TV di situ bersama-sama -setidaknya sampai anak-anak lulus SMA dan membutuhkan ruangan yang lebih privat.
Tapi itu dulu, ketika hidup belum terlalu bergegas dan jalanan belum semacet sekarang. Dulu, ayah kita sudah tiba di rumah pukul 3 siang (kalau pegawai negeri), atau paling lambat pukul 5 sore (kalau pegawai swasta). Ibu kita umumnya ibu rumah tangga yang hampir sepanjang waktu ada di rumah.
Bagaimana dengan sekarang? "Jangankan makan malam dan makan siang, sarapan bersama pun kita nyaris tak sempat lagi. Karena harus masuk sekolah pukul 7 pagi, anak-anak harus bergegas ke sekolah, sehingga mereka harus sarapan lebih awal daripada ayah dan ibu yang berangkat ke kantor lebih siang," kata Ratna Djuwita, psikolog dari Universitas Indonesia.
Meski berdesain mutakhir dan harganya mencapai puluhan juta, kini meja makan juga nyaris kehilangan fungsi dasarnya, yaitu untuk kegiatan makan keluarga. Paling-paling sekadar tempat meletakkan nasi dan lauk pauk, sementara para anggota keluarga lebih suka makan di tempat lain, misalnya di depan teve, di ruang kerja, atau di kamar masing-masing. Itu pun kalau mereka sempat makan di rumah. Alhasil, meskipun semua anggota keluarga sedang berada di rumah, tetap saja mereka tidak makan di meja makan.
Bila ditinjau dari sudut psikologi lingkungan, kata Ratna, lancar-tidaknya komunikasi dalam keluarga ternyata terkait juga dengan kondisi fisik rumah yang kita tinggali. "Dulu rumah kita umumnya berukuran kecil hingga sedang, tidak bertingkat, kamar mandi bersama, sementara jumlah anak relatif banyak. Karena setiap saat saling bertemu (atau istilah populernya 'elu lagi elu lagi') dan biasanya satu kamar dihuni oleh lebih dari satu orang, maka tanpa disadari terjalin keakraban, kebersamaan, dan toleransi antar penghuni rumah -meski tentunya sesekali terjadi friksi juga."
Ratna menegaskan,"Saya bukan orang yang percaya bahwa kelancaran komunikasi dalam keluarga bisa dipelihara hanya dengan quality time plus bantuan kecanggihan teknologi informasi yang membuat kita selalu bisa terkoneksi setiap saat. Kebersamaan fisik atau quantity time juga tak kalah penting, karena secanggih apapun teknologi, kita tetaplah manusia yang membutuhkan kedekatan fisik dan batin dengan orang-orang yang kita cintai.
Di zaman sekarang ini, kebanyakan keluarga, khususnya keluarga urban, hanya memiliki satu-dua anak, sehingga sejak kecil setiap anak biasanya sudah punya kamar sendiri. Dan seiring dengan peningkatan ekonomi, tak jarang setiap kamar dilengkapi dengan televisi, komputer, bahkan kamar mandi pribadi. Rumahnya pun besar-besar atau kecil tapi bertingkat -yang menimbulkan keterpisahan antara lantai bawah dan lantai atas. Dengan kondisi rumah yang seperti itu, jangan heran bila Anda sekeluarga jadi jarang bertemu, sekalipun semua anggota keluarga sedang berada di rumah. "Dan bila kuantitas pertemuan fisik kian jarang, otomatis kedekatan batin juga makin longgar."
Karena itu, menciptakan ruang keluarga yang nyaman dan menyenangkan merupakan salah satu langkah yang bisa diambil untuk merekatkan kembali hubungan antar anggota keluarga. Kalau bisa malah dibuat jauh lebih nyaman ketimbang kamar tidur masing-masing. Tempatkan semua TV, komputer, dan telepon di ruangan itu dan wajibkan seluruh anggota keluarga -termasuk Anda sendiri- untuk belajar, menyelesaikan tugas kantor, dan nonton TV di situ bersama-sama -setidaknya sampai anak-anak lulus SMA dan membutuhkan ruangan yang lebih privat.