Usianya sudah 74 tahun, namun Michael Sata membawa harapan baru bagi rakyat Zambia. Tampil sebagai pemenang pemilu presiden, Sata bertekad mengangkat harkat rakyat di negeri kawasan selatan Afrika itu, yang kaya akan hasil bumi namun sebagian besar rakyatnya tetap melarat.
Kemenangan Sata juga membawa inspirasi bagi siapapun yang menaruh cita-cita setinggi langit. Sebelum sukses menjadi politisi, dan kini tampil sebagai presiden terpilih, Sata melakoni beragam profesi - mulai dari polisi, aktivis serikat, bahkan menjadi petugas kebersihan. Harian Inggris, The Telegraph, mengabarkan bahwa Sata rutin menyapu stasiun kereta Victoria di London tatkala menuntut ilmu di sana.
Sata pun bermental baja. Kalah dari Presiden saat ini, Rupiah Banda, pada pemilu 2008 lalu, hanya dengan selisih 2 persen dari total jumlah suara, Sata tidak menyerah. Tak puas hanya menjadi pemimpin oposisi di parlemen, dia lalu maju lagi pada Pemilu 2011 dan kali ini hasilnya tidak sia-sia.
Menurut kantor berita Reuters, 23 September 2011, Mahkamah Agung mensahkan Sata sebagai pemenang pemilu pada Jumat pagi waktu setempat. Sata langsung dilantik pada hari itu juga.
Dia berhasil mengalahkan Banda. Keunggulan Sata atas Banda relatif tipis. Dari 95,3 persen kertas suara yang telah dihitung, Sata meraih dukungan 1.150.045 suara, sedangkan Banda 961.796.
Sata dikenal pendukungnya dengan julukan Raja Kobra, mengingat dia sangat kritis. Dia pun suka bicara ceplas-ceplos dan sering melontarkan lelucon. Politisi berusia 74 tahun itu terang-terangan menolak dominasi perusahaan-perusahaan tambang asing, terutama dari China, di negaranya. Dia juga tidak surut mengritik ketidakbecusan pemerintah saat ini dalam menata ekonomi dan menegakkan hukum.
Dalam suatu kampanye, Sata menyatakan dia bakal membersihkan Zambia dari sampah-sampah korupsi. Dia ingin membersihkan semua kotoran itu segiat saat dia masih menjadi tukang sapu di Stasiun Victoria, London.
"Saya tidak pernah mengeluh apa yang saya kerjakan. Saya ingin menyapu negeri saya, bahkan ingin membuatnya lebih bersih dari yang saya lakukan saat menyapu stasiun kereta Anda," kata Sata suatu ketika kepada wartawan Inggris, yang dikutip harian The Telegraph.
Di masa muda, Sata pernah menimba ilmu politik di London. Namun, untuk memenuhi kebutuhan hidup, dia bekerja sebagai petugas kebersihan untuk perusahaan British Rail. Tidak disebutkan secara jelas berapa lama Sata merantau di Inggris dan di universitas mana dia belajar.
Menurut Voice of America, Sata juga pernah berkarir jadi petugas serikat dagang dan polisi sebelum masuk ke gelanggang politik di awal dekade 1960an. Ketika masih menjadi koloni Inggris, Zambia saat itu masih bernama Northern Rhodesia.
Karir Sata di politik pun meningkat. Dia sempat menjadi Menteri Kesehatan dan Menteri Tenaga Kerja sebelum akhirnya keluar dari partai yang berkuasa dan membentuk partai sendiri bernama Fron Patriotik.
Selain bertekad menegakkan hukum yang bersih, Sata pun berjanji tidak akan minum air kemasan hingga "semua rakyat Zambia punya hak yang sama atas akses air bersih." Janji itu dimuat dalam laman Partai Fron Patriotik yang dipimpin Sata.
Pemerintahan Lemah
Kaya akan tembaga, Zambia masih berstatus negara Afrika yang melarat. Itulah sebabnya Sata terus mengritik Presiden Banda yang selama ini lemah terhadap investor asing dan korupsi sembari membiarkan banyak warga yang masih miskin.
Perusahaan-perusahaan tambang asal China merupakan investor asing utama bagi Zambia. Menurut data Kedutaan Besar China di Zambia, yang dikutip harian The Guardian, investasi mereka di negeri itu hingga akhir 2010 mencapai US$2 miliar.
Pemerintahan Presiden Banda bangga bahwa para investor menciptakan banyak lapangan kerja. Namun, Sata menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan asing itu justru menciptakan sistem perbudakan baru, dengan mempekerjakan warga lokal dengan kondisi yang tidak layak dan mengacuhkan budaya setempat.
Sata pun pernah mengancam bakal mengusir para investor China dari tambang-tambang di Zambia setelah muncul kasus para manajer asing memperlakukan pekerja lokal dengan semena-mena. Menurut harian The Wall Street Journal, sedikitnya ada dua kasus manajer tambang asal China menembaki para pekerja yang menggelar aksi protes.
Sata menegaskan dia tidak anti investor asing. "Mereka tetap penting bagi Zambia dan kami terus menyambut mereka. Namun mereka juga harus menghormati hukum tenaga kerja di sini," kata Sata.
Sebagai pesaing utama Sata, Presiden Banda saat berkampanye mengagung-agungkan pesatnya pertumbuhan ekonomi Zambia. Tahun lalu, pertumbuhan ekonomi sebesar 7,6 persen dan tahun sebelumnya 6,4 persen. Bagi IMF, Zambia merupakan negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi terpesat di Afrika.
Pertumbuhan ekonomi itu didorong oleh naiknya harga tembaga di bursa internasional dan derasnya investasi asal China di sektor sumber daya alam itu. Zambia dikenal sebagai pemilik tambang tembaga terbesar di Afrika dan masuk dalam daftar 10 Besar di dunia, demikian menurut laman harian Mail and Guardian.
Banda dan partainya, Gerakan untuk Demokrasi Multipartai (MMD), juga menonjolkan kebanggan bahwa selama 20 tahun memerintah mereka juga berhasil menciptakan lapangan kerja bagi banyak warga.
"Dari MMD, kalian menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, lebih banyak investasi yang masuk, dan lebih banyak pekerjaan bagi kaum muda," kata Banda dalam kampanye pemilu hari terakhir pada 17 September 2011.
Angka-angka pertumbuhan ekonomi yang menjadi andalan kampanye Banda itu memang fantastis. Namun, partai pendukung Sata menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negeri mereka selama ini tidak dinikmati sebagian besar rakyat.
Mayoritas warga di Zambia bahkan sulit membeli kebutuhan pokok dan makanan yang layak bagi keluarga mereka. Itulah sebabnya Sata berencana untuk menambah pendapatan dari pajak pertambangan sekaligus mengurangi ketergantungan akan bantuan asing.
Menurut Sata, Zambia selama diperintah Banda lebih banyak mendukung investor asing ketimbang rakyat sendiri. Presiden Banda memangkas 25 persen pajak keuntungan korporat di sektor pertambangan.
Kebijakan itu memang membuat senang para investor namun menyia-nyiakan ratusan juta dolar yang seharusnya bisa masuk ke kas negara dari pendapatan pajak korporat. Di sisi lain, rakyat di negeri yang kaya akan tembaga itu masih saja susah. Menurut data dari Mail&Guardian, sekitar 64 persen dari 12,9 juta rakyat Zambia masih hidup dengan pendapatan kurang dari US$2 (sekitar Rp18.000) per hari.
Presiden Banda pun dituding berkompromi dengan korupsi dan tidak meneruskan gerakan anti suap yang pernah dirintis pendahulunya, mendiang Presiden Levy Mwanawasa.
Buktinya, pemerintahan Banda menolak banding atas sidang pengadilan kepada mantan Presiden Frederick Chiluba, yang divonis bebas atas kasus korupsi sebesar US$500.000 selama memerintah 1991-2002.
Bahkan Banda memecat Ketua Gugus Tugas Anti Korupsi, Max Nkole, yang berupaya mengajukan banding atas vonis Chiluba. Belakangan, gugus tugas itu akhirnya juga dibubarkan.
Kelemahan rezim lama itulah yang menjadi bulan-bulanan tim kampanye Sata. Itulah sebabnya kalangan pengamat politik di Zambia menilai Sata "berbicara apa yang ingin rakyat dengar."
Para pendukung Sata bersuka cita merayakan kemenangan pemimpin mereka di Ibukota Lusaka. Mereka bernyanyi dan bersorak gembira begitu Sata dinyatakan sebagai pemenang pemilu.
"Pada akhirnya keinginan rakyat telah dihormati. Rakyat ingin perubahan," kata seorang pedagang asongan, Peter Musonda, kepada Reuters.
Kini, rakyat Zambia tidak hanya menunggu kata-kata tajam si Raja Kobra, namun juga berharap pemimpin baru itu segera menepati janji-janjinya begitu menjadi presiden.
"Ada banyak harapan dan bila dia tidak memenuhinya banyak warga akan kecewa," kata seorang supir taksi bernama Francis Musonda, juga kepada Reuters. "Namun dia adalah orang yang benar-benar kerja dan saya percaya kepada beliau," lanjut Musonda.
Kemenangan Sata juga membawa inspirasi bagi siapapun yang menaruh cita-cita setinggi langit. Sebelum sukses menjadi politisi, dan kini tampil sebagai presiden terpilih, Sata melakoni beragam profesi - mulai dari polisi, aktivis serikat, bahkan menjadi petugas kebersihan. Harian Inggris, The Telegraph, mengabarkan bahwa Sata rutin menyapu stasiun kereta Victoria di London tatkala menuntut ilmu di sana.
Sata pun bermental baja. Kalah dari Presiden saat ini, Rupiah Banda, pada pemilu 2008 lalu, hanya dengan selisih 2 persen dari total jumlah suara, Sata tidak menyerah. Tak puas hanya menjadi pemimpin oposisi di parlemen, dia lalu maju lagi pada Pemilu 2011 dan kali ini hasilnya tidak sia-sia.
Menurut kantor berita Reuters, 23 September 2011, Mahkamah Agung mensahkan Sata sebagai pemenang pemilu pada Jumat pagi waktu setempat. Sata langsung dilantik pada hari itu juga.
Dia berhasil mengalahkan Banda. Keunggulan Sata atas Banda relatif tipis. Dari 95,3 persen kertas suara yang telah dihitung, Sata meraih dukungan 1.150.045 suara, sedangkan Banda 961.796.
Sata dikenal pendukungnya dengan julukan Raja Kobra, mengingat dia sangat kritis. Dia pun suka bicara ceplas-ceplos dan sering melontarkan lelucon. Politisi berusia 74 tahun itu terang-terangan menolak dominasi perusahaan-perusahaan tambang asing, terutama dari China, di negaranya. Dia juga tidak surut mengritik ketidakbecusan pemerintah saat ini dalam menata ekonomi dan menegakkan hukum.
Dalam suatu kampanye, Sata menyatakan dia bakal membersihkan Zambia dari sampah-sampah korupsi. Dia ingin membersihkan semua kotoran itu segiat saat dia masih menjadi tukang sapu di Stasiun Victoria, London.
"Saya tidak pernah mengeluh apa yang saya kerjakan. Saya ingin menyapu negeri saya, bahkan ingin membuatnya lebih bersih dari yang saya lakukan saat menyapu stasiun kereta Anda," kata Sata suatu ketika kepada wartawan Inggris, yang dikutip harian The Telegraph.
Di masa muda, Sata pernah menimba ilmu politik di London. Namun, untuk memenuhi kebutuhan hidup, dia bekerja sebagai petugas kebersihan untuk perusahaan British Rail. Tidak disebutkan secara jelas berapa lama Sata merantau di Inggris dan di universitas mana dia belajar.
Menurut Voice of America, Sata juga pernah berkarir jadi petugas serikat dagang dan polisi sebelum masuk ke gelanggang politik di awal dekade 1960an. Ketika masih menjadi koloni Inggris, Zambia saat itu masih bernama Northern Rhodesia.
Karir Sata di politik pun meningkat. Dia sempat menjadi Menteri Kesehatan dan Menteri Tenaga Kerja sebelum akhirnya keluar dari partai yang berkuasa dan membentuk partai sendiri bernama Fron Patriotik.
Selain bertekad menegakkan hukum yang bersih, Sata pun berjanji tidak akan minum air kemasan hingga "semua rakyat Zambia punya hak yang sama atas akses air bersih." Janji itu dimuat dalam laman Partai Fron Patriotik yang dipimpin Sata.
Pemerintahan Lemah
Kaya akan tembaga, Zambia masih berstatus negara Afrika yang melarat. Itulah sebabnya Sata terus mengritik Presiden Banda yang selama ini lemah terhadap investor asing dan korupsi sembari membiarkan banyak warga yang masih miskin.
Perusahaan-perusahaan tambang asal China merupakan investor asing utama bagi Zambia. Menurut data Kedutaan Besar China di Zambia, yang dikutip harian The Guardian, investasi mereka di negeri itu hingga akhir 2010 mencapai US$2 miliar.
Pemerintahan Presiden Banda bangga bahwa para investor menciptakan banyak lapangan kerja. Namun, Sata menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan asing itu justru menciptakan sistem perbudakan baru, dengan mempekerjakan warga lokal dengan kondisi yang tidak layak dan mengacuhkan budaya setempat.
Sata pun pernah mengancam bakal mengusir para investor China dari tambang-tambang di Zambia setelah muncul kasus para manajer asing memperlakukan pekerja lokal dengan semena-mena. Menurut harian The Wall Street Journal, sedikitnya ada dua kasus manajer tambang asal China menembaki para pekerja yang menggelar aksi protes.
Sata menegaskan dia tidak anti investor asing. "Mereka tetap penting bagi Zambia dan kami terus menyambut mereka. Namun mereka juga harus menghormati hukum tenaga kerja di sini," kata Sata.
Sebagai pesaing utama Sata, Presiden Banda saat berkampanye mengagung-agungkan pesatnya pertumbuhan ekonomi Zambia. Tahun lalu, pertumbuhan ekonomi sebesar 7,6 persen dan tahun sebelumnya 6,4 persen. Bagi IMF, Zambia merupakan negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi terpesat di Afrika.
Pertumbuhan ekonomi itu didorong oleh naiknya harga tembaga di bursa internasional dan derasnya investasi asal China di sektor sumber daya alam itu. Zambia dikenal sebagai pemilik tambang tembaga terbesar di Afrika dan masuk dalam daftar 10 Besar di dunia, demikian menurut laman harian Mail and Guardian.
Banda dan partainya, Gerakan untuk Demokrasi Multipartai (MMD), juga menonjolkan kebanggan bahwa selama 20 tahun memerintah mereka juga berhasil menciptakan lapangan kerja bagi banyak warga.
"Dari MMD, kalian menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, lebih banyak investasi yang masuk, dan lebih banyak pekerjaan bagi kaum muda," kata Banda dalam kampanye pemilu hari terakhir pada 17 September 2011.
Angka-angka pertumbuhan ekonomi yang menjadi andalan kampanye Banda itu memang fantastis. Namun, partai pendukung Sata menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negeri mereka selama ini tidak dinikmati sebagian besar rakyat.
Mayoritas warga di Zambia bahkan sulit membeli kebutuhan pokok dan makanan yang layak bagi keluarga mereka. Itulah sebabnya Sata berencana untuk menambah pendapatan dari pajak pertambangan sekaligus mengurangi ketergantungan akan bantuan asing.
Menurut Sata, Zambia selama diperintah Banda lebih banyak mendukung investor asing ketimbang rakyat sendiri. Presiden Banda memangkas 25 persen pajak keuntungan korporat di sektor pertambangan.
Kebijakan itu memang membuat senang para investor namun menyia-nyiakan ratusan juta dolar yang seharusnya bisa masuk ke kas negara dari pendapatan pajak korporat. Di sisi lain, rakyat di negeri yang kaya akan tembaga itu masih saja susah. Menurut data dari Mail&Guardian, sekitar 64 persen dari 12,9 juta rakyat Zambia masih hidup dengan pendapatan kurang dari US$2 (sekitar Rp18.000) per hari.
Presiden Banda pun dituding berkompromi dengan korupsi dan tidak meneruskan gerakan anti suap yang pernah dirintis pendahulunya, mendiang Presiden Levy Mwanawasa.
Buktinya, pemerintahan Banda menolak banding atas sidang pengadilan kepada mantan Presiden Frederick Chiluba, yang divonis bebas atas kasus korupsi sebesar US$500.000 selama memerintah 1991-2002.
Bahkan Banda memecat Ketua Gugus Tugas Anti Korupsi, Max Nkole, yang berupaya mengajukan banding atas vonis Chiluba. Belakangan, gugus tugas itu akhirnya juga dibubarkan.
Kelemahan rezim lama itulah yang menjadi bulan-bulanan tim kampanye Sata. Itulah sebabnya kalangan pengamat politik di Zambia menilai Sata "berbicara apa yang ingin rakyat dengar."
Para pendukung Sata bersuka cita merayakan kemenangan pemimpin mereka di Ibukota Lusaka. Mereka bernyanyi dan bersorak gembira begitu Sata dinyatakan sebagai pemenang pemilu.
"Pada akhirnya keinginan rakyat telah dihormati. Rakyat ingin perubahan," kata seorang pedagang asongan, Peter Musonda, kepada Reuters.
Kini, rakyat Zambia tidak hanya menunggu kata-kata tajam si Raja Kobra, namun juga berharap pemimpin baru itu segera menepati janji-janjinya begitu menjadi presiden.
"Ada banyak harapan dan bila dia tidak memenuhinya banyak warga akan kecewa," kata seorang supir taksi bernama Francis Musonda, juga kepada Reuters. "Namun dia adalah orang yang benar-benar kerja dan saya percaya kepada beliau," lanjut Musonda.
( Sumber : VIVAnews )